Sahabat manisku, Saat mu tersungkur dan tersakiti... Duduklah dengan tenang di hadapan Tuhan, dengan melaporkan derita hatimu. Semakin engkau merasa dinistai, semakin baik. Semakin engkau mengerang, semakin baik. Semakin engkau jujur, semakin baik. Dengannya, yang tersisa di dalam hatimu hanyalah keikhlasan untuk mengerti. Mengertilah bahwa engkau yang salah memilih orang untuk kau cintai. Mengertilah bahwa dia dicabut darimu, karena engkau pantas untuk yang lebih baik. Mengertilah bahwa engkau sedang diuji kenaikan kelasmu, untuk diperhatikan apakah engkau masih akan bertengkar pada kelas itu, bertengkar tentang laki-laki yang sesuai untuk perempuan yang tidak sekelas denganmu? Mengertilah... bahwa Tuhan sedang menyediakan belahan jiwa yang lebih baik, jika engkau menghormati dirimu, menganggunkan dirimu, dan hanya mengiijinkan urusan yang baik dan penting bagi kebaikan orang banyak - sebagai pengisi hati dan pikiranmu. Sabarlah. Tahun depan engkau akan tertawa mengenai keadaanmu sekarang, dan terheran-heran mengingat bahwa engkau marah-marah seperti ini untuk laki-laki seperti itu. Stay beautifull..! ;)
1 Comment
Dunia Laila Part 3 Pagi nampak cerah, Laila terlihat sudah rapi dan anggun, dalam balutan dress peach simple sangat cocok di semampai tubuhnya, dengan rambut terurai panjang dia selipkan di telinga kirinya. Laila tengah sibuk memasukan vas bunga kedalam dus besar yang telah dilapisi kain. Ya, itulah salah satu kegiatannya, menjual vas bunga buatannya sendiri. Selain menulis dan melukis, Laila juga pandai melukis dan mewarnai vas bunga dan biasa dia jual di pasar atau toko-toko yang biasa dia pasok. “Ndok....” suara yang tidak asing lagi terdengar dari luar rumah. Suara milik Mas Gatot penarik becak langganan Laila dan mendiang ibunya yang biasa antar jemput mereka ke pasar, untuk mengantarkan vas bunga. “Yaa..sebentar” sahut Laila, Laila segera bergegas keluar.. “Wah.. banyak juga ndok pesanan hari ini” seru Mas Gatot seraya memindahkan dus tsb ke dalam becak. Laila tersenyum “Iya mas, pesanan Pak Mufti dua kali lipat hari ini”.. “Allhamdulillah” sahut pak gatot, Laila pun beranjak menaiki becak. Perjalanan pagi yang indah diiringi siulan mas gatot menyanyikan lagu 'Stasiun Balapan' tanpa bosannya, sementara Laila sibuk memotret beberapa view pemandangan menggunakan ponselnya. Perjalanan selama 15 menit, akhirnya sampailah mereka di pasar. Laila dibantu Mas Gatot mendatangi satu per-satu toko langganannya. Laila nampak ulet dan santai berinteraksi dengan pelanggannya. “Ini mbak setoran dua minggu kemaren, semuanya Rp. 550 ribu, tolong hitung lagi ya” kata Bu Salima salah satu langganan Laila. Laila pun menerimanya, nampak bibir mungilnya bergerak menghitung sejumlah uang tsb. Ditengah keasyikan menghitung Bu Salima mendekat dan berbisik padanya “Mba'e.. mba tuh cantik loh, moso sih belum punya pendamping, eh mbak... tuh anaknya Pak Haji Marto si Sultan baru pulang dari Jedah, kayaknya lagi cari pendamping, toh idupnya udah mapan. Malahan si Sultan mau inves' dana segar dalam jumlah yang sangat besar pula untuk pasar kita ini. Wah mbak, Dijamin ga akan kekurangan tujuh turunan kalo berjodoh sama dia”. Laila hanya sedikit mengerlingkan matanya kearah Bu Salima, tanpa jawaban hanya sedikit saja sunggingan senyum. “Mari bu, makasih yaa..” Tanpa basa-basa lagi Laila pun bergegas meninggalkan toko Bu Salima, “Ck..ck..ck.. ampun tuh anak, dikasih masukan buat idup seneng kok malah ga mudeng, kan enak kalo udah jadi nyonya kayak raya, tak perlu cape jualan vas bunga.. hmmm sami mawon sama mendiang ibunya dulu, anak dan ibu podo ae” Gerutu Bu Salima dalam hati sambil menggelengkan kepala. “Sekarang lanjut kemana ndok?” tanya Mas Gatot. “Pulang saja?” Jawab Laila, “Ngga belanja dulu?” tanya Mas Gatot lagi sambil mengosok-gosokan handuk kecil ke lehernya. “Ngga Mas, ada yang harus saya seleseikan di rumah” jawab Laila. “Oh baiklaahhh... silahkan cah ayu, naek ke kereta kencana nya Mas Gatot yang gagah ini” canda Mas gatot. Laila tersenyum sambil menggelengkan kepala. Kayuhan kaki Mas Gatot nampak mengendur. “Sepertinya Mas gatot kelelahan, pesanan hari ini lumayan banyak” pikir Laila. 15 menit perjalanan menghantar Laila tiba kembali di rumah. “Howalaahh.. nyampe juga ndok” desah Mas Gatot. “Cape ya mas?” tanya Laila. “Wah ga juga, bentar lagi juga ilang kok, setelah dipijit tangan mulus nya si mbok dirumah..” “Husssttt” seru Laila menemani tawa Mas Gatot. “Oh iya, besok ga perlu anter ya mas, pesanannya belum begitu banyak. Besok lusa saja ya..” kata Laila sambil merapikan roknya yang sedikit kusut. “Oke deehh..” sahut Mas Gatot disusul acungan jempol kanannya. “Mari ndok, saya pulang dulu”.. “Iya mas, makasih banyak ya..” senyum manis Laila mengakhiri pembicaraan mereka, sampai akhirnya tak terdengar dan terlihat lagi becak dan siulan khas Mas Gatot. “Fiuuhh..” desah nafas Laila, isyaratkan kelelahan, sembari bersandar disamping jendela rumah yang terbuka lebar, tatapannya tertuju sendu kearah taman kamboja. Dalam hitungan detik matanya membelalak takjub “Ya Tuhan.. kamboja kuningku..!!!!!!”. Secepat kilat Laila berlari keluar, menuju taman bunga kamboja. Takjub mata masih tak luput dari seraut wajah lembutnya. Jemarinya tertuju pada salah satu kamboja kuning, disusul bibir mungilnya mencium lembut kamboja tsb. “Ya Tuhaaan... indahnya!!” gumam Laila. Laila menari-nari berputar kesana kemari, dari satu bunga ke kumpulan bunga lainnya, merah.., pink.., putih dan kuning satu persatu dia sentuh lembut bunga-bunga tersebut diiringi kibasan rambut panjang yang sesekali menutupi wajahnya dan ayunan gaun peach tersapu bayu siang itu. Tawa cerianya semakin terdengar renyah tatkala Laila melihat seekor kupu-kupu putih diatas kepalanya, seolah menemani menari bersamanya dan saling bergantian mendekati bunga-bunga kamboja tersebut. Taman bunga yang indah, tawa ceria, senandung merdu, bak cinderella dalam negeri dongeng yang sedang menikmati taman istananya, pelukis dan sang penulis puisi sepertinya menantikan pemandangan indah seperti ini untuk mereka jadikan inspirasi .Namun, tetap dalam kesendirian Laila..... Keceriaannya masih dia bawa kedalam rumah, rambut panjangnya dia cepol keatas, tangannya sibuk mencari beberapa lembar tissue, ya.. untuk mengelap keringatnya. Laila berbalik menatap foto mendiang ibunya “Ibuu.. kamboja kita bu, yang berwarna kuning akhirnya berbunga juga, setelah sekian lama kita nantikan, hmmm..., aku janji kan kurawat mereka dengan baik, dan satu lagi bu..apa coba..?” celoteh Laila dengan senyum genitnya, “Aku pasti bawakan beberapa tangkai untukmu ibu, besok aku akan datang ke tempatmu”.. “Muachh”.. terdengar kecupan Laila diatas potret ibunya. Laila bergegas menuju meja makan, sebuah piring yang siap dia isi oleh masakan ala kadarnya yang dia buat. Telor ceplok dan brokoli rebus Laila tuangkan beberapa sendok ke piringnya. Suap demi suap dia nikmati, namun matanya tetap tertuju takjub ke taman kamboja. Nampak Laila masih belum puas menikmati keindahan tamannya. Selesai makan siang, Laila bergegas menuju sebuah ruang yang tak jauh dari dapurnya. Ruang itu adalah ruang pavoritnya, dia menata ruang itu sendiri, terlihat seperti sanggar kecil, dihiasi dua guci di sudut ruang. Itu adalah sanggar miliknya, banyak kanvas, kuas-kuas dan berwarna-warni cat didalamnya. Terlihat juga beberapa lukisan indah yang menempel di dinding, ada juga beberapa lukisan yang dia sandarkan, lukisan yang belum dia rampungkan. Cat dan kuas dia ambil, tangannya mulai lihai meliuk-liukan kuas diatas kanvas yang sudah dia buat sketsa-nya. Sebuah lukisan bidadari kecil, tepatnya peri kecil bersayap yang sedang terbang diatas taman dan beberapa bagian dahan pohon. Pancaran indah mata Laila seolah mewakilkan keindahan llukisan yang tengah dibuatnya. Kegemarannya melukis Laila dapatkan semenjak duduk di kelas 3 SMP, namun sayang hanya sebatas kegemarannya saja, beberapa guru dan teman-teman sekolahnya menyarankan dia untuk mengikuti lomba melukis. Namun tak Laila tanggapi, baginya melukis adalah suatu hal yang hanya bisa mewakilkan emosi dan perasaannya tanpa harus ter-ekspos ke khalayak. Sifat kerasnya itu yang kadang membuat orang enggan mendekatinya.
Beberapa jam dia lalui di ruang itu, lukisannya nyaris rampung hanya tinggal beberapa sentuhan terakhir. Laila tersentak saat jam dinding berbunyi 4 kali, menandakan tepat pukul 16.00 petang, dia segera simpan peralatan melukisnya, keluar ruangan dan mengambil payungnya. Segera dia bergegas pergi keluar, derap langkahnya cepat, seperti orang yang takut ketinggalan jemputan bis. Disetiap langkahnya dia terlihat risau, dalam benaknya berkata “Aku datang, nantikan aku disitu” Laila menyusuri jalan setapak sampai tak terlihat lagi. Akankah Laila menemukan semua itu di senja kali ini? Sekarangkah waktunya misteri itu Laila pecahkan? Tentang mimpi-mimpi dan firasatnya... Dunia Laila Part 2 Sesampainya dirumah, Laila sandarkan payung kesayangannya. Melangkah pelan beranjak menuju perapian tua di tengah rumahnya. Satu persatu kayu bakar dia susun dengan lihainya. Diambilnya korek api dan jadilah cahaya perapian yang sempurna. Beberapa langkah Laila mundur menuju sofa berkain rasfur coklat tempat dia biasa beristirahat. Tak ada suara, hanya bunyi kayu melepuh yang terbakar. Sesekali terdengar suara bibir mungilnya meneguk coklat hangat di cangkir. Sorot matanya tertuju tajam pada kobaran perapian, mata beningnya berubah menjadi jingga beriak menggambarkan sempurnanya cahaya api tersebut. Pandangannya mengisyaratkan lamunan panjang. Seolah rangkaian cerita yang tengah dia rangkaikan. Kesendirian Laila bagaikan danau yang tak terjamah, dingin, meninggalkan keheningan dan keindahan namun penuh misteri. Ditengah lamunan, Laila menghela nafas panjang, setengah dari coklatnya yang telah menjadi dingin, dia simpan di meja kecil disamping sofa. Di meja kecil itu pula satu potret indah berdiri dibingkai pigura kerang, ya.. wajah mendiang ibunya tersenyum, penuh kesahajaan, bergaun putih dan bersanggul. Laila mengusap lembut potret tersebut, nampak wajah pucat Laila sedikit sumringah kembali.. Namun masih tak bersuara. Tersimpul kesedihan mendalam disukmanya. Kesepiannya membuat orang normal bisa dibikin gila dan tak tahan.. seolah tak ada kehidupan sama sekali, kenapa Laila bisa bertahan? Pertanyaan itu yang pasti ada di benak kebanyakan orang. Dulu Laila tinggal hanya berdua bersama ibunya, tanpa siapapun, hanya satu sahabat karibnya Novika yang sering bertamu dan menginap dirumahnya, namun sayang kedua wanita baik itu kini telah tak bersama Laila lagi. Sepanjang malam biasa Laila habiskan tidur dipangkuan ibunya sambil berbincang ringan. Penuh tawa, cerita masa kecil dan harapan-harapan akan masa depan. Satu hal yang tak ingin dia tahu lagi, dalam kehidupannya, kepergian ayahnya yang meninggalkan mereka berdua karena ambisi dan hadirnya istri kedua. Kenyataan pahit yang harus mereka terima terlebih Laila, saat ayahnya pergi tanpa kabar dia masih berusia 5 tahun. Tak pernah Laila belajar keputus-asaan dan kesedihan selama bersama ibunya, mereka jatuh bangun memperjuangkan kehidupan, dua wanita yang tegar, sabar dan tangguh. Dari satu kontrakan rumah ke kontrakan lainnya, sempat Laila bersama ibunya diusir si pemilik kontrakan karena tunggakannya selama lebih dari beberapa bulan, pahit ketir kehidupan mereka berdua, berkat kegigihan dan kesabaran lah akhirnya mereka bisa bertahan, hingga akhirnya bisa membangun satu rumah mungil yang Laila tempati sekarang. Saat Laila berusia 19 tahun ibunya divonis mengidap kanker otak stadium empat dan harus menghembuskan nafas terakhirnya tepat tiga hari menjelang ulang tahun Laila yang ke-20. Perasaan Laila hancur remuk saat itu, kesedihannya membuncah dengan sempurna, enggan Laila melanjutkan hidup sendiri tanpa kehadiran ibu disisinya, "apa jadinya aku tanpamu ibu, aku ikut ibu.. aku ikut bersamamu, kita hidup bersama lagi di kehidupan yang kekal disana, aku tak sanggup.. sungguh tak sanggup tanpamu, ibu..." perkataan yang Laila ucapkan saat harus menerima kenyataan pahit untuk melepas sang ibu tercinta, namun hanya kehadiran sahabatnya Novika yang selalu menghibur dan menyalakan kembali api motivasi untuknya. Yang akhirnya Laila bisa membuka mata untuk melanjutkan hidupnya kedepan. Namun, untuk kedua kalinya Laila berduka saat sabatnya pergi menyusul ibunya. Kini dan seterusnya Laila hanya bisa menemui kedua wanita yang dicinitainya di sebuah pemakaman yang tak jauh dari rumahnya untuk memanjatkan doa dan menyematkan beberapa tangkai bunga. Rasanya sudah tak bersisa lagi air mata Laila, sekarang dia lebih sering menghabiskan waktu menyendiri, menulis dan melukis sesekali belajar memainkan biola milik mendiang ibunya. Kini dua tahun sudah Laila hidup sendiri meneruskan perjalanan tanpa ibu juga sahabatnya, bersama impian-impian yang selalu datang di malam-malamnya, itulah mimpi-mimpi yang mengisyaratkan sesuatu yang sekarang tengah dia sibak tabirnya, kebun ilalang, senja dan satu kejadian yang sedang dia tunggu. Itulah yang menyebabkan Laila sering mendatangi kebun itu setiap senja tiba. Dia ikuti apa-apa yang ada di mimpinya, namun sekian lama Laila tak menemukan jawaban apapun, hanya kebun ilalang yang mati dan tak mengisyaratkan apa-apa. Suatu kebetulan atau bukan, impian yang sering datang padanya juga kerap datang kepada mendiang ibunya, mimpi dan kejadian yang sama. Secara tidak langsung itupun menjadi amanat sang ibu sebelum meninggal, untuk mengungjkap suatu misteri dari mimpi-mimpinya. "Kau akan temukan sesuatu di tempat itu nak, kejarlah sebuah makna terbesar dalam hidupmu menunggu disana" itulah pesan terkhir dari sang ibu. Ketidakputus-asaannya dan keyakinannya yang kuat, suatu saat dia akan menemukan sesuatu seperti di mimpinya. Itulah ketidakletihannya. Perlahan keperakan rembulan mulai menyinari atap rumah Laila. Rumah berbentuk minimalis, dengan aksen kayu mahogani disetiap sudutnya nampak hangat ditemani harum setaman bunga kamboja. Jauh dari keramaian hanya nyanyian kodok malam dan lincahnya kunang-kunang. Terlelaplah Laila, nampak letih, pejam matanya menggambarkan kepolosan dan keanggunan. Gadis manis yang terlelap ditemani hangat perapian. Kulisankan dipengawal pagi ini.... Ya Rabb, Karuniakanlah rahmat kepadaku dengan Al-Quran
Dan jadikanlah Al-Quran sebagai pemimpin, cahaya, petunjuk dan rahmat bagiku Ya Rabb, ingatkanlah aku terhadap apa yang telah aku lupakan dari Al-Quran Ajarilah aku apa-apa yang belum aku ketahui dari Al-Quran Anugerahilah aku kemampuan untuk senantiasa membacanya sepanjang malam dan siangku Ya Rabb, benahilah pengetahuan dan pengalaman agamaku yang akan menjadi penjaga urusanku Benahilah duniaku tempat aku mencari penghidupan Benahilah kehidupan akheratku, tempat aku kembali Jadikanlah hidupku sebagai tempat untuk melakukan kebajikan, dan jadikanlah matiku sebagai pemutus segala keburukan Ya Rabb, jadikan sebaik-baik umurku agar menjadi amal yang terbaik di akhir usiaku Hariku yang terbaik adalah hari disaat aku bertemu dengan-Mu, kelak Ya Rabb, aku memohon hidup yang nyaman, mati yang tenang dan tempat kembali, akhirat yang tidak memalukan dan menghinakan Ya Rabb aku meminta sebaik-baik permintaan, permohonan, keberhasilan ilmu, amal, pahala, kehidupan dan kematian, serta tetapkanlah aku dalam kebaikan tersebut. Ya Rabb berikanlah aku rasa takut kepada-Mu yang akan menghalangiku dari berbuat maksiat. Anugerahilah aku ketaatan kepada-Mu yang akan mengantarkan aku ke dalam Surga-Mu. Ya Rabb, berapa banyak kealpaan yang telah aku perbuat dalam sadar dan tak sadarku, dalam terjaga dan terlelapku, dalam hitungan hari yang sama sekali tak kusebut nama-Mu Kerugian sepanjang usiaku di dunia adalah ketika aku sama sekali tak pernah mengenal-Mu. Aku begitu kecil Ya Rabb. Kau selalu berikanku kesempatan lagi dan lagi untuk mengenal-Mu. Cinta tertinggi dan sembah sujudku hanya untuk Engkau Ya Rabb... Melepasmu Tak kurasa, rautan jalan sudah kutapaki Menjauh dari rinai rindumu Terpapah dalam putusanku Untuk melepasmu... Cukupkan niat ini terpatri Aku tak daya akan hal Itupun termasuk cinta Untuk melepasmu.. Aku kini menjauh sudah.. Aku kini tahu arah... Semesta terpapar seraya awan bersuara Untuk melepasmu... Kau tahu, Sempat keliru dermaga yang kita tuju Semua tautan seolah sempurna Berasa titik itu ada Nyatanya samar, bahkan punah Kau tahu, Ikhlas dalam tundukku kini Ku tak akan kembali Terlalu rapuh bagimu, mencintaiku Nyatanya bukan ini, bukan aku Maaf, kutak sempat ucapkan selamat tinggal kutahu kau tak lagukan kepergianku Iramaku sudah cukup kaudengar Bayangmu menyerupai fatamorgana Samar, temaniku melangkah Biarlah, Bayu senja ini Menghantarku kearah sana Cukup kutitip cerita ini Pada mereka, ilalang senja Kini ku tahu pasti Untuk melepasmu... Untuk melepasmu... Dunia Laila Part I Guratan senja kali ini, kembali mengisyaratkan sesuatu untuk Laila, dia tak beranjak dari posisi yang sama tak hentinya berbincang dengan alam. Terus menggali menyamakan apa yang terjadi di mimpi beserta tanda alam sekitarnya. Keyakinannya akan menemukan sesuatu memuncak kali ini. “Aku tak bisa bermimpi terlalu lama lagi, sekarang waktunya” itu yang dia gumamkan sambil sesekali menggigit lidah dengan anggukan kepala, pertanda dia sangat meyakini sesuatu. Sesuatu di kepalan tangan dia tengok beberapa kali, jepit rambut berhiaskan batu giok ungu, dia simpan semenjak kepergian ibunya. “Ibu.. aku akan temukan semua itu disini sekarang, dan kau akan beristirahat dengan tenang”.. matanya terpejam.. bulu matanya melambai seolah bersinergi dengan ayunan ilalang di kanan kirinya. Semilir bayu senja kali ini terasa lebih dingin menusuk dibandingkan kemarin, burung pipit pun mulai beralih ke rimbanya, ada beberapa yang masih sibuk mencari ilalang untuk tempat istirahatnya. Laila tetap terpaku sambil sesekali memindahkan gagang payung dari bahu kanan ke bahu kirinya.. “Gadis yang aneh...” itu yang sering diucapkan oleh orang sekitarnya, termasuk teman-temannya, dia sangat tertutup.. tak banyak bicara, tak banyak berinteraksi, diamnya mengisyaratkan banyak arti, terlebih lagi setelah kepergian Novika, satu-satunya sahabat setia yang beberapa pekan kebelakang menyusul kepergian ibunya karena kanker giloma yang menyerangnya dengan dahsyat. Nampak tak ada satupun yang mau menemaninya setelah itu. .......... “Gadis aneh... apa sih istimewanya.. cukup menarik, tapi sayang dia terlalu naif dan polos,, tak usah hidup sekalian kalo tak mau menikmati hidup”... “Hey.. pernahkan kau mengenal lipstik, blush-on, maskara atau cat kuku warna terbaru dari Swiss, yang biasa kami gunakan... pasti kamu ga bisa bedainnya...” “Laila..oh laila.. cantik memang,, tapi.. hhhmmmpp.. sayang.. dia tak gunakan kewanitaannya untuk menarik perhatian kami, menikahinya sama saja menggali kuburan buat kami sendiri..! “Bicara dengannya buang2 waktu saja.. apa-apaan.. yang dia ceritakan hanya mimpinya yang itu-itu saja, bosan! Atau sesuatu yang akan dia temukan dibalik mimpi itu.. apalah itu namanya.. Heyy.. bangunlah Laila.. semua orang juga pasti mimpi, namanya juga bunga tidur.. toh ga ada yang istimewa.. ayoo pergilah bersama kami.. nikmati masa muda mu, kita punya banyak tiket untuk pergi ke bioskop.. atau kita pergi ber-karaoke dan minum-minum, atau akhir pekan ini akan ada banyak live music di cafe-cafe, banyak cowok-cowok tampan disana..!!!” Itu hanya beberapa saja dari sebagian banyak komentar yang biasa orang lontarkan padanya. Seolah pendiriannya seteguh karang, omongan kanan-kiri seolah tak dihiraukannya. Hatinya nampaknya tak mengenal arti sakit. Satu yang dia miliki, senyum manis yang dia berikan kepada orang yang setelah beberapa kali memanggil namanya, wajahnya polos dengan kecantikan khas yang dia miliki tanpa polesan, tanpa hiasan. Namun kulit wajahnya yang lembut seolah mewakilkan paras sakral seorang wanita seutuhnya.. Tuhan memang adil, andaikan dia bersolek selayaknya wanita, mungkin putri istana pun malu bersanding dengannya. Tapi apa boleh buat tampang adalah nomor satu. Itu yang berlaku apalagi di lingkungan metropolis sekarang ini. Gadis lugu yang sebenarnya menyimpan misteri kecantikan, hmmm.. lewat saja..! Beberapa waktu telah dia habiskan ditempat itu. Berdiri memaku, hanya rok dan sweater hijaunya yang mengayun lembut tersapu angin, sejenak dia simpan payungnya untuk sekedar menyematkan jepit giok tadi di rambut panjangnya. Warna hitam rambut seolah menggambarkan kelam dan misteri hatinya. Dilihatnya sepasang kupu-kupu putih menari dan bercumbu diatas payungnya. Menandakan waktu tepat pukul 17.30 WIB, dan itu artinya dia harus segera bergegas pulang. Wajah tenangnya sekejap bermuram, berubah menjadi pucat, hanya binar matanya yang terlihat memantulkan lembayung sore itu. Dengan langkah berat dia melangkah untuk pulang. Beberapa langkah dari situ dia berhenti dan membalikan badannya.. “Aku akan kembali lagi.. besok..” bisiknya pelan. Kembali dia bergegas, selangkah demi selangkah dan akhirnya tak terlihat. Hanya menyisakan sepasang kupu-kupu yang masih belum lelah bermain bebas. Dan lagi-lagi kali ini Laila belum menemukan apapun.. Entah dari mana aku harus mulai cerita singkat namun panjang dalam alam sadar dan tak sadarku... Awalnya, tak aku sangka dia akan begitu berarti dalam kehidupanku, kebersamaan kami singkat hanya dalam hitungan bulan. Namun seolah saling mengenal satu sama lain. Bercerita banyak hal, kami bertemu jauh dari dunia nyata beberapa bulan terakhir. Yang bisa kulakukan hanya donlot semua foto di fesbuknya, hingga aku save di HD eksternalku, huuh.. lucu dan malu juga rasanya kalo ingat hal itu. Wajah lugu dan bersahaja miliknya, dengan sunggingan senyum dibibir merahnya, seolah mengisyaratkan kehangatan akan dirinya dan kenyamanan akan pribadinya. Mengenalnya seolah aku lebih menemukan sesuatu yang belum pernah aku temukan dalam diri. Sifatnya lembut, namun tegas dalam keputusannya, kubayangkan perangainya yang tajam saat dia mengatakan “Tidak!” untuk suatu hal. Jujur saja, dia kujadikan pelepas penat di tengah malam dalam jeda kesibukanku akan dunia. Handphone, earphone, secangkir kopi, sekotak coklat almond dan sebaris bintang malam adalah teman-temanku mengiringi perbincangan aku dengannya, detik demi detik, menit demi menit sampai tak terasa beberapa jam berlalu, dengan sang kokok ayam fajar pun sepertinya lebih duluan kami 'melek nya :). Tak ada kabar sehari darinya rasanya ga enak duduk.. menerawang jauh.. uh andaikan dia ada disini. Tapi tidak..tidak.. aku hanya membutuhkan dia untuk teman dikala malam.. mengantar aku dalam pejam. Sekitarku sudah lebih dari cukup untuk mengusir kesepianku.. Salah atau tidak dengan perasaan ini, entahlah, ku tak tau.. itulah cara aku mewujudkan fantasi ku sendiri dan aku nyaman berada didalamnya. Waktu bergulir.. lalui berbagai cerita, sempat kita terpisah, pernah aku tinggalkan dia. Karena duniaku ternyata lebih asik daripada malam-malamku. Banyak alasanku meninggalkan dia, bukan karena salahnya, tapi karena aku jengah dengan keadaanku sendiri. Mungkin bukan masalah juga buatnya. Aku yakin dia punya banyak keasyikan sendiri selain mengurusi aku dan kemauanku. Toh bukan aku satu-satunya nampaknya... Dan memang terbukti dia baik-baik saja saat aku tak muncul membawa kabarku. Rasa cinta, mmm.. bukan, aku fikir semacam ketergantungan satu sama lainnya mungkin. Terlalu dhaif kami bicara cinta... Yang akhirnya mendekatkan kami kembali, dikesempatan kedua ini kami saling meninggikan satu sama lainnya, bicara seolah tak ada batasnya, pertemuan, kebersamaan hingga ikrar janji kami bicarakan... seolah sepasang dewa dewi yang dimabuk aroma syahdu. Kami saling titipkan hati.. berdansa berirama dalam alunan malam dan sang maya, terkadang saling cemburu satu sama lainnya, yang entahlah cemburu karena apa.. terlebih aku, karena aku tahu kesetiaannya seperti apa.. mungkin aku hanya cemburu dengan nyamuk yang hinggap di kulitnya saat terlelap. Dan seterusnya,,, seterusnya,,, perbincangan kami makin intim dan indah, bak Laila Majnun yang kami perankan, tak bisa aku uraikan, detak jantung dan detik jam dinding di kamarku itu saja yang membekas diingatanku.. Namun.. skenario yang cukup pahit, harus kami pentaskan pada akhirnya... Ternyata ketergantungan satu sama lain tidaklah cukup, prahara datang melanda, terjangan ombak secepat kilat menghantam karang hitam, bunga mawar yang biasa dia suguhkan, kini hanya duri dan tajamnya yang tersisa. Ketir tersisa di ujung bibirku. Aku yang lemah dihadapannya tak berdaya pertahankan lingkaran hitam yang pernah kami ukir berdua, yang mau aku tahu hanya peran indah, saat berkasih, berkelakar, berdansa dalam sanjungan dan berpuisi kerinduan itu saja, karena yang aku tahu cinta itu indah... Seolah lenyap ditelan semesta.. kami berdua tak berdaya akan satu hal yang biasa kami yakini adalah 'keyakinan'. Aku dan dia tersungkur jauh dari ikatan putih, memilih untuk sama-sama bergegas pergi... mengenalnya hal menyenangkan. dan mengenangnya adalah hal terpahit. Tidak.. tidak.. tidak aku tak berdaya menerimanya. Tapi apa boleh dikata, ternyata impian kita berbeda. Aku... meninggalkannya bukan karena tak peduli lagi padanya, tapi ini lebih baik... Cukup! Aku tak bisa menulis terlalu panjang untuk bagian ini... Kini... hanya buih-buih penyesalan, bongkahan-bongkaha asa, nafas-nafas hampa yang menyelimuti dinginnya hati.. Tak ada malam Tak ada lagi tawanya Tak ada lagi manjanya Tak ada lagi anggunnya Tak ada lagi dering telpon..darinya Tak kubaca lagi puisi-puisi indahnya untukku Aku disini, merajut sepi.. Bersama bintang yang tak sempat kami lihat jatuhnya Bersama indah bulan yang tak sempat kami lihat berdua Dan bersama simpuhan doa untuknya... Penghuni hati dan kenanganku. Hanya tinggal secangkir kopi malam ini yang ada dihadapanku.. Beku tak bersuara, ku tau dia semakin menjauh pergi. Bundaran putih ditelapakku bergetar, aku tenang dia masih disana dengan kerinduannya, meskipun hati dan raganya sudah bukan untukku. Kuambil gitar ku, kulantunkan lagu untuknya beserta bintang-bintangnya. Tak sanggup kuteruskan lirik ini....
Bersama BinTang Senja kini berganti malam menutup hari yg lelah dimanakah engkau berada aku tak tahu dimana pernah kita lalui semua jerit, tangis, canda, tawa kini hanya untaian kata hanya itulah yg aku punya tidurlah selamat malam lupakan sajalah aku mimpilah dalam tidurmu bersama bintang sesungguhnya aku tak bisa jalani waktu tanpamu perpisahan bukanlah duka meski harus menyisakan luka Aku tersenyum perih dengan asa seraya kutatap bintang diatas sana.. Aku juga merindukannya.... Masih... sepenggal cerita tentang bintang itu..... Malam ini tlah kupinta dia pilihkan satu bintang, untuk aku jaga dan aku simpan dihatiku. Dan.. dia pilihkan aku satu bintang terang, yang letaknya lebih dekat dengan bulan, yaa.. tepatnya sebelah selatan bulan. Itulah bintang yang dia pilihkan untukku. Sesaat perasaan gelisah dan resah membuncahku, tatkala tak kulihat satu bintang pun di hamparan tegas langit malam itu, tak ada satupun termasuk bintang yang dia pilihkan untukku. Perasaanku galau, rasa takut tak dapat melihat dan takut kehilangan bintang itupun tersirat jelas dalam hatiku. Apa jadinya hatiku, jika tak dia titipkan satu bintang pilihannya di hatiku. Ditengah kekhawatiranku, dia meyakinkan aku.. bahwa bintang itu tidak pernah hilang, bintang tetap ada diatas sana melihatku, bintang hanya enggan untuk menampakan sinarnya yang merah redup, dia malu tidak mempunyai sinar biru terang yang biasa dia perlihatkan di malam-malam lainnya, bintang memilih bersembunyi karena redupnya dan karena bintang tahu apa yang tengah dirasakan aku dengannya.. Aku berharap agar bintang itu tidak jatuh, tetap kokoh & kuat meskipun tanpa sinar biru yang terang, sekali lagi dia yakinkan aku tentang kekuatan bintang itu, bahwa bintang bersinar dengan ketulusan dan keyakinan untuk selalu ada disamping bulan, “bintang adalah bintang, dengan atau tanpa sinar tetaplah bintang, dan seandainya harus memilih untuk jatuh pun, kepergiannya tetap dinantikan dan dirindukan oleh manusia, dan sepasang kekasih yang sedang berdoa, menunggu keajaiban akan cinta mereka” bintang jatuh dengan terhormat... Tapi ketakutanku masih menguat, aku takut kehilangan bintang itu.. aku takut bintang jatuh sebelum aku sempat melihat sinarnya yang terang.. aku takut bintang jatuh sebelum aku sempat mengucapkan doa untuk kami.. aku takut bintang jatuh disaat sinarnya sedang redup, sehingga aku tidak dapat melihat sinarnya yang indah melesat hingga tak terlihat lagi oleh pelupuk mataku. Dia berjanji akan meminta bintang untuk tetap terjaga tanpa harus menghilang atau terjatuh, jika pun bintang jatuh, masih tersimpan sinar cintanya dihatiku dan hatinya, dan sinar itu yang akan menyatukan kami selamanya.. Aku meyakinkannya untuk benar-benar berbicara pada bintang.. aku setengah memaksa padanya agar dia benar-benar meyakinkan bintang agar tetap terjaga, dan sabar sampai dia kembali mendapatkan sinarnya yang biru. Pengharapanku semoga bintang yang kami pilih adalah bintang yang sinarnya paling terang dan kekal sampai jangka hayatnya.. Dia meyakinkan aku kembali, membuatku kuat kembali.. dia yakin bintang yang kami pilih adalah yang paling terang, meskipun harus meredup, dia tetap bintang yang kami pilih.. Dia selalu yakinkan aku dengan apa yang kami lakukan, prosesnya adalah ketentuan hati kami yang tulus. Akhir dari doa-doaku, ikrarku aku nisbatkan dalam hati... Dalam keadaan redup atau terang pun. Aku tetap yakinkan satu hal... “Bahwa dia dan bintang adalah tetap bagianku...” Berharap.. bintang itu akan hadir malam ini, berada diantara “aku, dia dan bintang kami..”
Start blogging by creating a new post. You can edit or delete me by clicking under the comments. You can also customize your sidebar by dragging in elements from the top bar.
|
AuthorAku takkan berhenti menulis.. bebas tanpa terkekang dengan semestaku.. akan berhenti jika aku lelah untuk bernafas... Archives
October 2011
Categories |